Nggak Bahaya, Ta?
Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIBKini aku tengah berdiri di depan gerbang rumah besar di salah satu perumahan elit di kota Jakarta. Hatiku mendadak tidak karuan, nggak nyangka Sandra anak orang kaya. Rumahnya megah bener. Dari kejauhan gentengnya sudah mengkilap bak jidat tetanggaku pas kena keringat.
Pagi ini, usai sarapan aku segera meluncur ke rumah Sandra. Kebetulan hari ini aku libur kerja, jadi aku punya waktu lebih untuk mencari alamatnya. Cewek berfoto manis itu selalu membayang-bayangiku beberapa waktu ini, sehingga membuatku susah untuk tidur.
Rupanya jalanan tidak begitu ramai. Karena ini hari minggu. Orang-orang juga pasti libur bekerja dan lebih memilih untuk beristirahat di rumahnya saja ketimbang keluyuran kemana-mana. Ini situasi yang sangat mendukung. Perjalananku mencari alamat Sandra menjadi lancar.
Aku mengenal Sandra sekitar sebulan yang lalu di medsos berlogo biru. Awalnya hanya saling komen dan like status, kemudian berlanjut ke inbok dan nomor pribadi. Orangnya yang enak diajak ngobrol, dan tentu fotonya yang cantik, membuatku tak berpikir lama untuk segera dekat dengannya. Aku bukanlah laki-laki bodoh.
Setelah kurang lebih 45 menit perjalanan dan tanya ke sana-ke mari, akhirnya kudapatkan juga alamat rumah Sandra.
Kini aku tengah berdiri di depan gerbang rumah besar di salah satu perumahan elit di kota Jakarta. Hatiku mendadak tidak karuan, nggak nyangka Sandra anak orang kaya. Rumahnya megah bener. Dari kejauhan gentengnya sudah mengkilap bak jidat tetanggaku pas kena keringat.
Namun, aku berusaha tenang. Mencoba menata mental sedemikian rupa.
Kuedarkan pandangan ke sekitar rumah Sandra. Terlihat pos satpam. Aku segera menghampiri pos security di ujung kiri pintu gerbang rumahnya. Aku ketuk gerbang perlahan.
"Selamat siang, Pak," sapaku dengan seramah mungkin.
Lelaki itu diam saja, tidak mendengarku.
"Halooo … Assalamualaikum!" Kali ini suaraku dan ketukan tanganku lebih keras.
Namun, security berbadan tambun itu tetap diam.
Setan! Umpatku.
Aku perhatikan lebih jeli, oalah, ternyata ada sesuatu yang menyumpal di telinganya. Pantas saja dari tadi ia bergoyang-goyang sendiri.
Aku tak kehabisan akal. Aku pungut kerikil dan aku lemparkan. Maksudku, akan aku lempar di sampingnya untuk menarik perhatiannya, tapi ternyata lemparanku terlalu bersemangat dan … meleset.
"Awww! Sialan! Siapa yang melempar kepalaku!" Dia melepaskan headset sambil celingukan ke sana-ke mari. Lalu kemudian tatapan matanya mendapati wajahku yang tengah meringis dengan manis.
"Hei, kamu! Kamu yang melempar ini!" Dia memungut kembali kerikil itu dan menunjukkan kepadaku.
"Maaf, Pak-" kutahan sebentar omonganku, kulirik nama security itu di bajunya. "Maaf, Pak Herman."
Aku sengaja menyebutkan namanya. Karena konon, ketika kita memanggil orang yang baru kenal dengan namanya, respek orang itu akan lebih besar dibanding kita tidak menyebut nama.
Namun, sepertinya pada kasus kali ini, aku mesti berpikir ulang akan teori itu.
Lelaki berkumis melintang sebesar ulat bulu yang obesitas itu perlahan mendekatiku sembari mengelus-elus kepalanya yang botak. Tampaknya lemparanku tadi mengenai syaraf kepalanya yang paling sensitif. Sebenarnya itu bagus buat kecerdasannya. Biar kalau kerja yang profesional!
"Kamu mau berbuat onar di sini!" Dia melotot sambil berkacak pinggang begitu tiba di hadapanku.
Meski masih terbatasi teralis besi pintu gerbang, aku waspada dengan mundur perlahan. Siapa tau dia langsung menerjangku.
"Maaf, Pak Herman. Sedari tadi saya panggil-panggil tapi tidak disahut," jawabku dengan merasa sedikit bersalah. Ya, aku katakan sedikit karena salahnya banyak di security itu. Ngapain kerja sambil dengerin musik dengan headset sampai-sampai tidak mendengar kalau ada tamu.
"Kamu siapa!" bentaknya.
"Maaf, Pak Herman, apakah ini rumah Sandra?"
"Sandra siapa? Sandra Dewi? Bukan!" tukasnya cuek.
Aku berpikir sebentar. Ini tipe manusia gila hormat dan gila ….
Aku melirik ke arah dia duduk tadi. Kulihat ada rokok di sana.
"Ini, Pak, saya ada sedikit uang buat beli rokok," ucapku sembari menyodorkan uang 20 ribu rupiah.
Terlihat seketika matanya membulat. Aku tersenyum manis. Pancinganku mengena.
Namun, ekspresi wajahnya berubah galak lagi.
"Mau menyogokku?" tukasnya dingin.
"Enggak. Anggap saja sebagai permintaan maaf saya tadi sudah melempar Bapak."
Aku melanjutkan, "Kalau tidak mau, ya, sudah, saya kantongi lagi."
"Iya! Ini rumah Non Sandra. Kamu siapanya?" ujarnya sembari menyambar uang di tanganku dan dimasukkan ke kantongnya dengan kecepatan kilat.
Aku menelan ludah.
"Saya teman lamanya, Pak. Saya dulu teman SMA-nya. Apakah dia ada di rumah?" Aku terpaksa berbohong. Buat jaga-jaga.
Wajahnya melirik sekilas kearahku.
"Sebentar saya panggilkan. Kamu tetap di sini dan … jangan macam-macam!" tukasnya sambil berlalu.
Sebenarnya dia memberitahu atau mengancam? Aku geleng-geleng kepala sendiri. 'Dasar botak!' umpatku dalam hati.
Sembari menunggu si botak itu memanggil Sandra aku menata perasaanku. Lalu berpikir ucapan apa saja yang nanti akan aku katakan padanya. Semoga dia tidak menyesal sehingga mematut diri sejak subuh tadi tidak sia-sia.
Tak beberapa lama si botak kembali muncul di depanku. Dengan langkah tergesa ia membukakan pintu gerbang untukku.
"Langsung masuk saja, Mas. Tunggu saja di teras depan. Non Sandra masih agak sibuk di dalam," tukasnya datar.
"Baik, terima kasih, Pak Herman," aku pasang wajah seimut mungkin. Urusan dia kalau itu membuatnya muntah-muntah. Bodo amat!
"Eits, tunggu dulu, Kisanak!"
Apa lagi?
Wajahnya yang bulat dan glowing karena keringat di dekatkan kepadaku, "Jangan macam-macam!"
Benar-benar ini orang. Macam-macam bagaimana? Apakah aku di matanya nampak sebagai seorang pencuri sehingga pantas diwaspadai? Sikapnya yang menjengkelkan mengingatkanku pada si Jono, supervisor di tempat kerjaku. Kalau aku sedang tidak bertamu, mungkin sudah aku cuekin saja si botak ini.
"Tenang saja, Pak. Saya orang baik-baik," kataku singkat sembari berlalu.
Aku menuju ke teras. Duduk dan mengamati sekitar. Kursi-kursi kayu antik dan hiasan bunga-bunga bergantungan dengan apik di sekitar teras membuat perasaanku lebih tenang.
Prasangkaku yang saling tumpang tindih dan bermain di pikiran seketika berhenti tatkala pintu rumah bercat putih susu itu terbuka. Aku bersiap untuk berdiri. Dari sana keluar sosok wanita cantik, yang wajahnya sudah tidak asing lagi bagiku.
"San …" kalimatku menggantung di udara. Debar dadaku kembali bergejolak.
Kulihat ia mengerutkan kening. Melihatku tajam-tajam seperti hendak menyelidik.
"Siapa, ya?" ucapnya lembut.
Aku bangkit.
"Aku Rama, Rama Wijaya, masa gak tau?"
Dia makin terlihat bingung.
"Maaf, Mas, saya tidak kenal," katanya sembari mendekat.
Tega nian. Sebulan chat-an dengan sangat mesra bilang tidak kenal? Apakah karena wajahku ini berbeda dengan foto yang memang aku kasih filter level 10. Diam-diam aku merutuki diri.
"Tadi pagi kita barusan saja chat, kamu kirim alamatmu dan aku ke sini. Nih, buktinya." Aku membuka ponsel dan memperlihatkan chatan mesra kami kepadanya. Ingin menunjukkan bahwa aku tidak bohong.
Sandra menyipitkan mata. Melihat dengan seksama chatan kami di ponselku.
Sebelum situasi jelas, tiba-tiba dari dalam rumah keluar seorang pemuda berwajah ganteng dan kekar. Berpakaian kaos aparat.
"Eh, Mas Rama, sudah lama? Ayo duduk," ucap laki-laki itu ramah.
Batinku merasa tidak enak.
"Eh, Mas. Ini ada orang yang nyariin aku, trus katanya kita janjian, tapi aku benar-benar tidak kenal," tukas Sandara kepada laki-laki yang barusan keluar.
Laki-laki itu tampak santai, lalu berujar, "Tenang … Mas kok yang nyuruh dia ke sini."
Perasaanku makin tak karuan.
"Oh, iya, kenalin, Mas, ini suami saya," kata Sandra kemudian kepadaku memperkenalkan laki-laki di sampingnya.
Modiar!
Aku serba salah. Bingung mau apa. Pengen pura-pura pingsan tapi lagi nggak upacara. Pengen jadi melesat ke angkasa tapi bukan Ultraman.
"Engg, nganu, nganu, Mas, Mbak, saya mohon diri. Kayaknya mau hujan, jemuran saya belum tak angkatin, " cerocosku tak beraturan sembari menggaruk-garuk rambut yang memang gatal karena semingguan nggak keramas.
"Ah, buru-buru amat, Mas. Duduklah sejenak. Katanya kangen, toh. Kita ngopi-ngopi dulu lah," sambut laki-laki bedebah itu. "Lagian mana ada hujan, mendung saja enggak, kok?"
"Engg, nganu, Mas. Di kampung saya suka gitu. Hujan dadakan. Mungkin langitnya bocor, Mas," jawabku makin ngelantur. Bodo amat yang penting aku bisa segera minggat.
Aku lalu bergegas keluar rumah menuju gerbang pintu setelah berbasa-basi tidak jelas.
Tiba-tiba dari arah pos satpam berteriak sebuah suara, "Mas!"
Aku menoleh. Satpam botak itu rupanya.
"Nggak bahaya, ta?" ujarnya lagi.
***
Tamat.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pahlawan
Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIBNggak Bahaya, Ta?
Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler